Kendaraan berbahan bakar bensin dianggap sudah ketinggalalan zaman. Bensin juga dianggap sebagai salah satu faktor pencemaran udara dan iklim.

Oleh sebab itu, perusahaan otomotif dunia kini sedang berlomba-lomba untuk membuat mobil listrik yang diklaim ramah lingkungan.

Sebelum mobil listrik benar-benar mengambil alih kendaraan berbahan bakar bensin, orang mengenal etanol yang diklaim lebih ramah lingkungan ketimbang bensin.

Bahan bakar etanol juga dinilai punya manfaat dari segi ekonomi. Harga di pasarannya bisa ditekan.

Pasalnya, pengolahan bisa dilakukan di tiap-tiap daerah yang memiliki bahan baku tertentu dan disesuaikan.

Artinya tidak perlu biaya pengiriman yang mahal. Pendistribusiannya pun menjadi lebih cepat.

Namun menurut sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Proceedings National Academy of Sciences menemukan fakta bahwa dampak etanol terhadap lingkungan mungkin bisa lebih buruk.

Studi ini pertama kali dipublikasikan secara online di PNAS pada 14 Februari 2022, dan akan muncul di media cetak pada edisi 1 Maret 2022. 

Dalam studi tersebut, para peneliti menyelami lebih dalam bagaimana hasil Standar Bahan Bakar Terbarukan AS.

Alih-alih hanya membatasi pengamatannya pada satu bagian dari proses produksi dan konsumsi etanol berbasis jagung, para peneliti mengumpulkan data pada semua bagian dari siklus produksi etanol.  

Setelah mempertimbangkan hal-hal penting seperti perubahan penggunaan lahan, peningkatan pupuk, dan sejenisnya, para peneliti melaporkan temuan baru.

Bahwa, etanol berbasis jagung mengandung karbon 24 persen lebih intensif daripada produksi bensin.

Meskipun rangkaian pengamatan khusus ini hanya berlaku untuk etanol berbasis jagung yang diproduksi di Amerika Serikat, namun hal tersebut dapat berdampak besar pada produksi bahan bakar nabati global.

Perlu dicatat di sini bahwa penelitian ini sebagian didanai oleh Departemen Energi AS dan Federasi Margasatwa Nasional.

“Penelitian ini pada dasarnya menegaskan kembali apa yang diduga banyak orang, bahwa etanol jagung bukanlah bahan bakar yang ramah iklim,” kata penulis utama studi dan ilmuwan Tyler Lark dalam sebuah pernyataan.

“Dan kita perlu mempercepat peralihan ke bahan bakar terbarukan yang lebih baik, serta melakukan peningkatan efisiensi dan elektrifikasi,” ia menambahkan.

Rilis studi ini datang sesaat sebelum Badan Perlindungan Lingkungan AS diharapkan untuk mengusulkan persyaratan 2023 yang diperbarui untuk kebijakan biofuel negara itu.

Dikutip dari Reuters, persyaratan saat ini berjalan hingga akhir 2022, dan akan diputuskan Mei 2022 untuk memberikan cukup waktu untuk mempersiapkan diri sebelum diberlakukan pada 2023.

Galeri: Pengujian BMW X5 Bertenaga Hidrogen