Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) disebut sebagai momentum untuk mengoptimalkan bauran energi nasional.

Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad dalam keterangan resminya, Senin (12/9/2022).

"Misalnya PLN, sumber energinya berubah tidak lagi menggunakan BBM maka harus menggunakan energi lain,” ujar Tauhid.

“Misalnya menggunakan dari gas bumi untuk menghasilkan listrik. Kemudian yang memungkinkan kendaraan umum,” ia menambahkan.

Khusus terkait penggunaan BBG untuk transportasi umum, kata Ahmad, meskipun tidak semua daerah di Indonesia bisa menjalankannya, namun tetap bisa berdampak positif.

Dan juga, secara bertahap bisa diupayakan lebih merata. "Kebijakannya harus benar-benar bisa diimplementasikan,” kata Tauhid.

“Terutama dimulai dari kementerian dan lembaga misalnya mulai dari kendaraan dinas, bisa menggunakan gas. Supaya konversinya cepat dan benar-benar dilakukan,” ujarnya.

Pemerintah menetapkan bahwa target Bauran Energi tahun 2025 adalah EBT sebesar 25 persen, gas bumi 22 persen, minyak bumi sebesar 25 persen, dan batubara 30 persen.

Kemudian pada 2050, komposisi target Bauran Energi Nasional ditargetkan EBT mencapai 31 persen, gas bumi 24 persen, dan minyak bumi 20 persen.

Sementara ini, sampai tahun 2020 sebagaimana data Kementerian ESDM, porsi EBT tercatat baru mencapai 11,20 persen.

Kemudian gas bumi sebesar 19,16 persen, minyak bumi sebesar 31,60 persen, dan batubara sebesar 38,04 persen.

Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengatakan penggunaan minyak bumi saat ini masih dominan sebagai sumber energi sekunder.

Hal ini kerap menjadi masalah, terutama ketika harga minyak dunia naik signifikan.

Ketika harga minyak bumi naik tinggi, pada satu sisi akan berdampak pada kenaikan harga BBM sehingga harus menambah besaran subsidi yang memberatkan APBN.

”Sebab kebutuhan rata-rata BBM kita per hari itu 1,4 juta barel sedangkan produksi minyak kita hanya sekitar 600-700 ribu barel per hari,” kata Sugeng.

“Sehingga hal itu membuat ketergantungan terhadap impor BBM semakin tinggi,” ucap Sugeng.

Ia mengungkapkan, DPR terus mendorong upaya pengurangan ketergantungan kepada minyak sebagai energi primer. Salah satunya dengan mengupayakan optimalisasi gas bumi.

”Pemanfaatan gas bumi, khususnya gas alam, harus didorong menjadi kebijakan utama dalam konteks energi,” ujarnya.

“Gas harus menjadi energi transisi untuk menuju optimalisasi EBT. Baik untuk kepentingan transportasi, industri, maupun rumah tangga,” kata Sugeng.

Meskipun tidak terbarukan, menurutnya, gas bumi merupakan energi bersih. Selain itu, Indonesia memiliki produksi dan cadangan gas bumi yang besar melebihi minyak.

”Secara cadangan memang betul lah sudah tidak lagi migas (minyak dan gas). Harus gasmi (gas bumi). Karena cadangan gas lebih besar kan,” Sugeng menegaskan.

Galeri: BBM Pertamina